(Kasus Ekosistem Hutan Pulau Haruku)
Prof. Dr. Ir. J.M. Matinahoru.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
1. Karakteristik hutan pada pulau kecil
Ekosistem hutan pada pulau-pulau kecil (small islands) memiliki tingkat sensitivitas ekosistem yang sangat rapuh, jika dibandingkan dengan ekosistem hutan pada pulau-pulau besar (continental islands). Hutan pada pulau kecil memiliki kondisi pertumbuhan yang khusus, misalnya vegetasi hutan didominasi oleh pohon-pohon yang tumbuh lambat, diameter batang pohon umumnya tidak terlalu besar dan daun tumbuhan umumnya sempit. Kondisi fisik hutan seperti ini disebabkan oleh beberapa hal pokok, yaitu :
(a). Hutan pada pulau kecil terlalu sering mendapat banyak pengaruh intrusi air laut yang masuk ke daratan terutama pada hutan di wilayah-wilayah pesisir. Hal ini menyebabkan air tanah yang diabsorbsi akar vegetasi mengandung cukup tinggi konsentrasi ion natrium, karbonat dan klorida. Sebagai akibat kelebihan ion-ion ini maka terjadi keracunan bagi sel-sel tumbuhan yang mengakibatkan vegetasi tumbuh dan berkembang tidak normal,
(b). Hutan pada pulau kecil hampir setiap saat mendapat hembusan angin laut yang membawa banyak uap air laut yang mengandung cukup tinggi kadar garam. Uap air yang mengandung garam tersebut, kemudian diabsorbsi oleh daun tumbuhan yang akibatnya terjadi keracunan oleh adanya kelebihan konsentrasi natrium,
(c). Hutan pada pulau kecil secara umum juga memiliki transpirasi tinggi sebagai akibat frekuensi terpaan angin laut yang berlangsung hampir secara terus menerus sehingga mekanisme pembukaan dan penutupan stomata menjadi terganggu, dan proses fotosintesis berlangsung tidak normal karena konsentrasi CO2 menjadi menurun disekitar atmosfer daun karena dipindahkan oleh angin ke tempat lain,
(d). Hutan pada pulau kecil umumnya tumbuh pada wilayah DAS yang pendek dan sempit sehingga hujan yang jatuh dalam wilayah DAS lebih cepat mengalami run off menuju badan sungai dari pada terinfiltrasi ke dalam tanah untuk menambah volume air tanah aktual bagi pertumbuhan vegetasi hutan,
(e). Hutan pada pulau kecil cendrung memiliki daerah tangkapan air (water catchment area) yang sempit sehingga jumlah air hujan yang jatuh dan tertampung pada suatu daerah tangkapan air selalu tidak seimbang terhadap laju kehilangan air tanah yang harus mengalir keluar melalui sungai dan evapotranspirasi,
(f). Hutan pada pulau kecil secara umum tumbuh diatas kondisi tanah dengan solum tanah dangkal terutama bagi pulau-pulau coral dan atol. Akibat volume tanah yang rendah seperti ini, maka kondisi pertumbuhan hutan disini cendrung didominasi oleh jenis-jenis yang perkembangan tinggi pohon dan diameter batang sangat lambat.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang dikemukakan diatas menunjukan bahwa pertumbuhan hutan pada pulau-pulau kecil seperti Haruku, Saparua, Nusalaut, Ambon dan Seram sebenarnya memiliki hutan yang secara alami sulit untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini karena banyak sekali faktor pembatas pertumbuhan yang harus dapat diadaptasi dengan baik oleh sel-sel tumbuhan dari pohon-pohon yang ada pada wilayah tersebut. Walaupun demikian secara alami pengaruh ini masih dapat diimbangi dengan kondisi musim, dimana pada saat musim hujan hampir semua pengaruh buruk dari laut terhadap tumbuhan yang ada di daratan pulau-pulau tersebut dapat teratasi melalui pencucian. Selanjutnya jika hutan yang sudah sangat sulit berkembang tersebut, kemudian diganggu lagi dengan aktivitas penebangan maupun pemusnahan oleh manusia maka hancurlah ekosistem tersebut,
2. Kerusakan-kerusakan ekosistem hutan pada pulau kecil
Secara umum kerusakan ekosistem pulau kecil disebabkan oleh alam (natural disasters) dan manusia (human destructions). Gangguan faktor alam bagi pulau kecil khususnya di Maluku lebih disebabkan oleh letusan gunung api, naiknya permukaan air laut dan kebakaran. Namun demikian kerusakan hutan akibat gangguan alam tidak signifikan jika dibandingkan dengan kerusakan oleh aktivitas manusia. Kerusakan hutan pada pulau kecil sebagai akibat aktivitas manusia lebih disebabkan oleh kemiskinan sebagai faktor kunci. Secara umum pulau-pulau kecil di Maluku dihuni oleh masyarakat yang miskin. Hal ini karena faktor kualitas sumberdaya manusia dan keterisolasian wilayah untuk akses teknologi dan pasar. Beberapa hasil penelitian (Matinahoru dan Hitipeuw, 2005; Van Ersnt, 2007 dan Watilei, 2008) menunjukan bahwa kerusakan ekosistem hutan pada pulau kecil lebih disebabkan 3 hal utama, yaitu :
(a). Aktivitas perladangan berpindah oleh masyarakat,
(b). Aktivitas penebangan pohon secara legal maupun ilegal untuk berbagai kebutuhan seperti energi kayu bakar, konstruksi bangunan, meubel dan lain-lain,
(c). Aktivitas perluasan pemanfaatan lahan oleh masyarakat maupun pemerintah untuk berbagai kepentingan seperti pemukiman masyarakat, perkantoran, lapangan udara, pelabuhan kapal, infrastruktur jalan, perkebunan monokultur dan lain-lain.
3. Manfaat hutan bagi kehidupan manusia
Sejak jaman nenek moyang manusia, hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan mereka.
Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan sebagai berikut.
1. Manfaat langsung
1.1. Sumber bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api, tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll).
1.2. Sumber bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, senduk, mangkok dll).
1.3. Sumber bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll).
1.4. Sumber protein (madu, daging, sarang burung, dll).
1.5. Sumber pendukung fasilitas pendidikan (pinsil dan kertas).
1.6. Sumber bahan bakar (kayu api, arang dll).
1.7. Sumber oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan)
1.8. Sumber pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu)
1.9. Sumber obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji)
1.10. Habitat satwa (makan, minum, main, tidur)
2. Manfaat tidak langsung
2.1. Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan)
2.2. Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan)
2.3. Kontrol pemanasan bumi
2.4. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll)
2.5. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll)
2.6. Pusat pendidikan dan penelitian
2.7. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll).
4. Kasus ekosistem hutan pulau Haruku
Secara umum kondisi fisiografi petuanan desa Haruku adalah datar sampai bergunung. Kondisi wilayah yang datar berada pada tepi pantai dan digunakan sebagai tempat pemukiman dan usaha tanaman umur panjang dari masyarakat dan hutan sagu. Sedangkan wilayah perbukitan sampai pegunungan di dominasi oleh vegetasi hutan dataran tinggi yaitu campuran berbagai spesies mulai dari kayu besi, lenggua, kayu merah, pulaka, pule, nyatoh, bintanggor, pala hutan dan lain-lain. Terdapat pula hasil hutan ikutan berupa sagu dan bambu. Wilayah ini secara umum digunakan sebagai tempat berladang dengan menanam sayuran, singkong, patatas, pisang dan beberapa usaha tanaman umur panjang seperti cengkih, pala, coklat dan kelapa dalam pola tanam polikultur.
Jenis tanah dominan pada petuanan desa Haruku adalah regosol pada dataran rendah dan kambisol serta podsolik pada dataran tinggi. Tanah regosol didominasi oleh fraksi pasir dengan tingkat kesuburan tanah adalah sedang, sementara kambisol dan podsolik didominasi oleh fraksi liat dengan tingkat kesuburan tanah adalah rendah. Secara umum kondisi iklim pulau Haruku sama seperti iklim pulau Ambon, yaitu musim panas pada bulan September sampai April dan musim hujan dari bulan Mei sampai Agustus. Suhu rata-rata bulanan selama musim panas adalah 26 – 29 oC dengan kelembaban relatif 80 – 85 % dan pada musim hujan 24 – 27 oC dengan kelembaban relatif 85 – 90 %.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kerapatan vegetasi di petuanan Desa Haruku termasuk dalam kategori rendah karena ; (1). Dalam petak 20 X 20 m jarang ditemukan pohon dengan ukuran diameter diatas 50 cm, dan (2). Jarang ditemukan semai atau anakan pohon-pohonan dalam jumlah yang lebih dari 20 anakan. Hal ini menunjukan bahwa ekosistem hutan di petuanan Desa Haruku telah mengalami kerusakan serius. Kondisi ini terbukti disaat musim hujan sungai Meme dan Iri mempunyai debit air meningkat tajam dan kualitas air menjadi sangat keruh.
Beberapa alasan kunci mengapa debit air dimusim hujan meningkat, yaitu: (1) Jumlah pohon sangat terbatas (jarang) sehingga produksi humus dan perakaran oleh pohon juga terbatas dan akibatnya jumlah air yang diserap kedalam tanah berkurang, (2). Jenis tanah kambisol dan podsolik memiliki sifat fisik tanah dimana ukuran pori tanah kecil sehingga kecepatan penyerapan air oleh tanah sangat lambat. Akibat dari kedua hal ini maka air hujan yang jatuh kepermukaan tanah akan lebih banyak mengalir ke sungai dari pada terserap ke dalam tanah, dan dengan demikian debit air sungai menjadi meningkat.
Dampak kenaikan debit air dari kedua sungai (Wae Meme dan Wae Iri) jika tidak diantisipasi lebih awal maka suatu ketika akan membawa musibah bagi penduduk disekitar muara kedua sungai tersebut. Hal ini disebabkan oleh faktor kerusakan hutan akibat pola tata guna lahan yang keliru. Secara umum trend laju kerusakan hutan di hampir semua tempat adalah selalu mengikuti laju pertambahan penduduk dan laju peningkatan kebutuhan manusia. Sementara itu, upaya-upaya penanaman kembali lahan kosong atau lahan kritis oleh masyarakat jarang dilakukan secara mandiri (selalu berharap pada pemerintah), di sisi lain kebutuhan akan kayu untuk bahan bangunan dan lahan untuk berladang terus meningkat.
Berdasarkan observasi lapangan dapat disimpulkan bahwa rendahnya kerapatan pohon atau jumlah dan jenis pohon di dalam petuanan desa Haruku karena beberapa hal, yaitu:
(1). Adanya praktek perladangan berpindah, (2). Adanya penebangan pohon-pohon tertentu untuk kebutuhan membangun rumah dan lain-lain (3). Adanya konversi (pengubahan) lahan hutan menjadi lahan kebun tanaman umur panjang, dan (4). Adanya kebutuhan lahan untuk pemukiman penduduk.
Di pulau Haruku terdapat banyak satwa burung maleo sebagai spesies endemik. Burung maleo dijumpai bukan saja di Desa kailolo, tetapi juga di Desa Haruku. Dari observasi lapangan menunjukan bahwa terdapat banyak ancaman terhadap kelestarian spesies ini, terutama pada beberapa aspek ekosistem yang terkait dengan tempat makan, bermain, tidur dan bertelur. Beberapa faktor yang mengancam adalah ; (1). Pencurian telur oleh masyarakat, (2). Predator seperti babi, soa-soa dan burung elang, (3). Pemburuan oleh masyarakat, (4). Rendahnya kerapatan vegetasi untuk tempat makan dan bermain, serta (4). Abrasi laut dan sungai.
Kewang dan Sasi sebagai kearifan lokal orang Maluku masih terpelihara baik di Haruku, walaupun sudah mulai mengalami benturan-benturan dengan masuknya budaya yang kontra budaya lokal. Lembaga kewang berdasarkan pada fungsi dan perannya memang harus memiliki aksi nyata di lapangan untuk dapat mempertahankan kelestarian ekosistem hutan khususnya di petuanan Desa Haruku sehingga minimal dapat mengurangi dampak-dampak terhadap ekosistem hutan maupun habitat bagi satwa dan ikan. Berdasarkan pengalaman dibeberapa tempat menunjukan bahwa regulasi atau peraturan pada tingkat desa yang harus banyak dibuat untuk melestarikan sumberdaya alam di suatu wilayah. Melalui kewang harus dapat dipromosikan peraturan-peraturan desa yang dapat mendorong dan menjamin kelestarian sumberdaya alam seperti hutan, satwa dan ikan di laut.
LIHAT GAMBAR KERUSAKAN HUTAN >>>
DAFTAR PUSTAKA
Davis, G. 1988. Indonesian forest, land and water. Issues in sustainable development. John Wiley and sons Ltd, London.
Matinahoru, J.M, 2006. Kebutuhan bahan bakar kayu oleh masyarakat disekitar hutan produksi di Desa Honitetu Kecamatan Kairatu. Laporan penelitian mandiri Fakultas Pertanian Unpatti Ambon.
Matinahoru, J.M, 2006. Dampak ijin pemanfaatan kayu (IPK) bagi kerusakan ekosistem hutan pulau kecil. Prosiding workshop NFP Facility FAO Regional Maluku dan Maluku Utara, Ambon.
Matinahoru, J.M, 2007. Dampak pola tata guna lahan terhadap debit sumber air keluar Dusun Kusu-kusu Sereh Ambon. Laporan penelitian mandiri Fakultas Pertanian Unpatti Ambon.
Matinahoru, J.M, 2007. Dampak kerusakan ekosistem DAS Wae Batu Gajah terhadap pemukiman penduduk kota Ambon. Laporan penelitian mandiri Fakultas Pertanian Unpatti Ambon.
Matinahoru, J.M, 2008. Kebutuhan energi kayu bakar dan kelestarian air pada pulau-pulau kecil di Maluku. Prosiding workshop pelestarian sumber air di pulau Kei Kecil Maluku Tenggara, Tual.
Matinahoru, J.M dan J. Hitipeuw. 2005. Kerusakan hutan dan perladangan berpindah pada beberapa desa enclave di Maluku. Majalah EUGENIA, Publikasi Ilmiah Pertanian. Fakultas Pertanian, Usrat Manado.
Marsono, D. 2000. Pendekatan ekosistem pengelolaan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil. Seminar nasional pengelolaan hutan pantai dan pulau-pulau kecil dalam konteks negara kepulauan.
Van Ernst, L. 2007. Kajian faktor-faktor penentu laju kerusakan hutan akibat perladangan berpindah di Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Skripsi Fakultas Pertanian Unpatti, Ambon.
Watilei, A.M. 2008. Siklus perladangan berpindah pada beberapa desa di pulau Yamdena. Skripsi Fakultas Pertanian Unpatti, Ambon.
Winarto, Y. 1998. Pengetahuan lokal dalam wacana kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Fakultas Kehutanan UGM, Yogjakarta.
Artikel Terkait :
DEFINISI TENTANG HUTAN :