Kendala-kendala Pengusahaan Hutan


Hutan merupakan sumber daya penting dan strategi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Selama hampir empat dasawarsa sektor kehutanan telah memberi kontribusi penting bagi proses pembangunan nasional yang tercermin dari kontribusi berupa devisa dan pendapatan negara, kemampuan penyediaan sekaligus penyerapan tenaga kerja serta menjadi stimulan bagi perkembangan sektor-sektor industri lainnya dan sekaligus agen pembangunan bagi terbangunnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi diberbagai wilayah terpencil di pedalaman.

Dengan konfigurasi daratan Indonesia seluas ± 189,15 juta atau sekitar 76% daratannya merupakan kawasan hutan, menempatkan sumber daya hutan sebagai salah satu modal dasar bagi pemenuhan berbagai kepentingan strategi diberbagai tingkatan, baik lokal, regional, dan nasional. Meski memiliki peranan strategi dan kontribusi besar bagi berbagai kepentingan selama hampir empat dasawarsa, dalam kurun waktu perkembangannya, sektor kehutanan ternyata tidak terlepas dari kondisi pasang surut. Bahkan, ancaman ambruknya sektor kehutanan dewasa ini tercermin dari keterpurukan dunia usaha kehutanan, baik pengusahaan hutan alam (HPH) maupun pengusahaan hutan tanaman (HTI) dan industri kehutanan baik di hulu maupun dihilir kini sangat terasa.

Secara filosofis teknis, perusahaan adalah sebuah badan usaha yang menganut prinsip ekonomi, yaitu melakukan kegiatan usaha dalam upaya memperoleh keuntungan maksimal melalui pengorbanan yang minimal. Perusahan juga bukanlah sebuah badan hukum yang bersifat sosial yang menerapkan konsep nirlaba dalam operasionalisasinya. Lebih lanjut, perusahaan merupakan sebuah institusi milik pemegang saham sebagai pemilki modal yang tidak bisa terus-menerus berlaku seolah-olah menjadi donatur sebuah yayasan sosial. Bila sebuah perusahaan memiliki kinerja buruk yang tercermin dari biaya produksi yang berada diatas harga jual produk, maka tidak ada kata lain bahwa perusahaan tersebut cepat atau lambat akan segera menemui ajal, bangkrut. Itulah kondisi sektor riil kehutanan Indonesia, hal ini terjadi karena munculnya kendala-kendala yang antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Jatuhnya era orde baru dengan segenap konsep pembangunan sosial, ekonomi dan politik termasuk cetak biru pembangunan sektor kehutanan ke era reformasi diikuti dengan perubahan politik ekonomi kehutanan yang sangat radikal, telah mengakibatkan sektor kehutanan mengalami keterpurukan.
  2. Krisis ekonomi berkepanjangan telah mengakibatkan masuknya masyarakat luar ke sektor kehutanan berupa praktek perombakan hutan, penebangan liar, dan penyelundupan kayu. Tercatat kerugian negara akibat malpraktek tersebut mencapai nilai Rp. 30 Triliun per tahun dengan tingkat kerusakan hutan mengalami 3,8 juta hektar per tahun.
  3. Euforial reformasi berlebihan telah mengakibatkan hukum sebagai norma yang mengantar kehidupan bermasyarakat bernegara menjadi tidak operasional di lapangan.
  4. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak tahun 2000 kini sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32/2005 yang belum memiliki penjelasan Rancang Bangun. Utamanya pengaturan kewenangan antara pusat dan daerah, hal itu diperburuk dengan diberlakukan Peraturan Pemerintahnya. Akibatnya intensitas konflik pengelolaan sumber daya hutan meningkat pesat. Baik konflik kehutanan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, maupun konflik horisontal antara masyarakat. Resultansi kondisi tersebut mengakibatkan iklim investasi di sektor kehutanan menjadi sangat tidak kondusif karena tiadanya jaminan kepastian hukum dibidang usaha maupun kepastian lahan usaha.
  5. Penebangan liar (Illegal Logging) jelas diakui sangat berdampak terhadap kelangsungan usaha kehutanan. Kayu bulat yang berasal dari praktek penebangan liar tentu memiliki harga jual lebih rendah, karena biaya produksinya sangat irit. Mengapa? Pertama, ia tak akan mungkin menghadapi konflik dengan masyarakat, karena dengan kepandaian “berkompromi” para cukong akan membagi keuntungan dalam bentuk fee kubikasi -per meter kubik kayu bulat kepada masyarakat setempat yang biasanya menjadi pemilik kawasan hutanyang diakui sebagai kawasan hutan adat atau hutan rakyat. Artinya, kalkulasi matematisnya sangat murni ekonomis. Berapapun kayu yag dikeluarkan dari kawasannya, maka masyarakat akan memperoleh fee kubikasi sesuai dengan kesepakatan besaran per kubiknya. Kedua, kayu yang berasal dari sumber ini tidak perlu mengeluarkan berbagai komponen biaya seperti yang diatur pemerintah dalam praktek pengusahaan hutan pada sistem silvikultur yang diterapkan. Misalnya biaya perencanaan hutan yang meliputi cruising (ITSP) dan penataan areal blok atau petak tebangan serta biaya pembinaan dan perlindungan hutan yang meliputi biaya kegiatan persemaian, investarisasi tegakan tinggal, penanaman perkayaan dan penanaman rehabilitasi di areal bekas tebangan. Komponen ini sering disebut dengan biaya TPTI dan menjadi salah satu dasar penilaian kinerja manajemen unit HPH. Ketiga, kayu ilegal tidak perlu membayar komponen pembangunan infrastruktur seperi pembuatan jalan dan pemeliharaannya dengan investasi pada alat berat. Kayu ilegal biasanya menggunakan infrstrutur HPH yang sudah ada dengan cara “membungkus” kepentingannya dengan kepentingan masyarakat lokal. Keempat, kayu penebangan liar jelas tidak perlu membayar pajak dan pungutan kehutanan, utamanya DR dan PSDH. Biaya produksi kayu ilegal berkisar Rp.250.000 – Rp.300.000. Komponen terbesar biasanya justru pada pemberian “upeti” kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan ataupun kekuasaan, baik resmi maupun informal. Dengan modal sebesar itu, bila dijual dengan kisaran Rp.400.000 – Rp.500.000 setiap kubiknya, kayu ilegal jelas masih untung antara Rp.150.000 – Rp.250.000, sebaliknya, dengan tingkat harga sebesar itu kayu legal jelas akan buntung.
  6. Dalam konteks kepastian kawasan (TENURIAL) terdapat dualisme antara hutan adat yang menjadi hak ulayat Masyarakat hukum adat disatu sisi dengan hutan negara disisi lain. Lenih jauh, kondisi tersebut telah menghasilkan tata ruang yang telah ditetapkan secara regional maupun nasional tidak berlaku.
  7. Masalah kredit Perbankan.
    Sektor kehutanan memiliki karakteristik dalam hak usahanya yang bersifat padat modal (capital intensive) sehinghga membutuhkan modal investasi yang relatif besar, oleh karena itu dulunya, dunia perbankan sangat berpengaruh terhadap kinerja dan keberhasilan usaha di sektor kehutanan.
  1. Masalah perpajakan dan pungutan.
    1. Pajak. Mulai dari PBB, PPh Tenaga Kerja, PPh atas jasa, PPN kayu bulat sampai dengan BBN PKB alat-alat berat.
    2. Pungutan. Levy and Grand, dana kompensasi. Dana kompensasi masyarakat, dana pembinaan masyarakat desa hutan serta pemungutan kewajiban PSDH dan DR didepan berdasarkan LHC.
  2. Keamanan.
    Sektor kehutanan yang berbasis pada pengolahan lahan yang luas jelas membutuhkan jaminan stabilitas keamanan. Dewasa ini permainan premanisme fisik dan administratif telah menyebabknan investor hengkang atau mengurungkan niatnya melakukan investasi di Indonesia. Karenanya perlindungan untuk kemanan terhadap gangguan premanisme dan organized crimes sebaiknya diberikan oleh negara untuk menghindarkan berkembangnya private army dan private police. Penjarahan dan gangguan keamanan ini sudah sangat merisahkan dan telah mencapai kondisi yang memprihatinkan karena sudah mampu menolak investasi.
  1. Kebijakan Menteri Kehutanan melalui SK No.8171/KPTS-II/2002 tentang kriteria potensi Hutan Alam selain produksi sebagai dasar pemberian perpanjangan HPH maupun yang sedang berjalan pada Hutan Alam, sampai dengan SK 445/KPTS-II/2003 dan SK 446/KPTS-II/2003 tentang pembayaran DR dan PSDH di depan. Meskipun telah ada Deregulasi, akan tetapi kendala-kendala tersebut diatas telah mengakibatkan dunia usaha mengalami pendarahan yang berlarut-larut Quo Vadis sektor riil kehutanan.

Artikel Terkait :

DEFINISI DAN PENGERTIAN :

No comments:

ENDEMIK DAERAH

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer