PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI

ekologi hutan
 
Pengertian pengelolaan hutan produksi adalah usaha untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu di hutan produksi. Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia dan tempat rekreasi. Dalam keadaan tertentu, manfaat tersebut dapat saling tumbukan, sehingga perlu ditentukan prioritasnya. Disinilah diperlukan adanya tata guna lahan hutan yang permanen (Manan, 1998).

Pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan produksi, khususnya di luar pulau jawa telah dimulai pada tahun 1970-an melalui pola pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada kawasan hutan produksi. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilandasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Kemudian diganti PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan produksi. Pengelolaan hutan di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.(Anonim, 2009)

Apabila pada awal tahun 1970 tersebut diprediksikan bahwa hutan alam produksi memiliki riap (tingkat pertumbuhan) 1 m³/ha/tahun, maka dengan luas lebih kurang 60 juta hektar, hutan produksi alam dapat menghasilkan bahan baku kayu sebesar 60 juta m³ per tahun. Hal ini dimungkinkan apabila sejak awal hutan alam produksi tersebut dikelola dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari, dimana jumlah kayu yang diambil tidak melebihi tingkat pertumbuhannya. Namun demikian dalam kenyataannya pengusahaan hutan produksi oleh pelaku usaha yang tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan kelestarian sumber daya hutan, telah mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya hutan produksi, sehingga tidak mampu lagi menghasilkan bahan baku industri pengolahan kayu sesuai dengan yang diperhitungkan semula yaitu 60 juta m³ per tahun (Astana S, 1999).

Selanjutnya Astana S. (1999) mengatakan bahwa untuk menjalankan prinsip kelestarian hasil, teori manajemen mengajarkan kepada kita agar mempertimbangkan riap pohon sebagai parameter. Riap didefinisikan sebagai pertumbuhan dimensi pohon (diameter dan tinggi) hingga masak tebang. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa umur masak tebang pohon meranti 60 tahun kemudian volumenya dihitung 1 m³, maka riap satu pohon meranti adalah 1/60 m³ per tahun. Artinya kalau kita mengharapkan setiap tahun memproduksi kayu meranti sebesar 1.000 m³, maka kita setiap tahun harus berhasil menanam pohon meranti sebanyak 1.000 dibagi 1/60 m³ dikali 1 pohon, agar prinsip kelstarian hasil dipenuhi. Mengingat dalam pengelolaan hutan kita tidak mengetahui secara tepat berapa sebenarnya riap pohonnya, maka sistem silvikulturnya menyesuaikan dengan asumsi riap yang ditetapkan. Acuan yang dipakai mengasumsikan riapnya sebesar 1 cm per tahun dan daurnya 35 tahun. Dengan asumsi tersebut, pohon yang boleh ditebang adalah yang berdiameter sama atau lebih besar dari 50 cm, dengan harapan pohon yang berdiameter sama dan atau di atas 20 cm dapat menjadi di atas 50 cm setelah masa 35 tahun, sehingga kelestarian hutan alam bisa dipertahankan.

Kendati demikian kenyataan menunjukkan bahwa implementasinya di lapangan masih mengalami banyak kendala. Hal ini disebabkan antara lain karena kegiatan pemanfaatan hutan yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi akumulatif jangka pendek dari pada perimbangan ekologi eksploratif jangka panjang (Hadisaputro, 2000).

Manfaat ekonomi dan dampak ekologis pengusahaan hutan selalu muncul bersamaan dan dipastikan akan memacu pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain akan menimbulkan dampak penurunan kualitas hutan dan lingkungannya, kecuali prinsip pest management practices benar-benar dilakukan sehingga kerusakan hutan diharapkan hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, dalam kegiatan pengusahaan hutan yang perlu ditegaskan adalah bagaimana asas kelestarian dapat diwujudkan sehingga keuntungan ekonomi dan kepentingan ekologi dapat diraih. Hal tersebut hanya dapat dicapai jika dibarengi dengan pemilihan sistem silvikultur yang tepat, kemampuan dan profesionalisme rimbawan, pembiayaan serta kemauan dan etikad baik dari pihak pengusaha dalam memenuhi kewajibannya (Hadisaputro, 2000).

Mengingat hutan produksi yang dikelola dengan sistem TPTI di Indonesia masih belum mencerminkan pada asas kelestarian, maka dapat berdampak buruk pada tegakan tinggal. Salah satu dampak negatif dari pelaksanaan penebangan dalam sistem TPTI adalah terjadinya kerusakan pada tegakan lain disekitar pohon ditebang.

Leutournean (1979) dalam Thaib (1986) mengemukakan bahwa kegiatan eksploitasi berperan sebagai kunci dalam mata rantai kegiatan pendayagunaan sumber daya hutan, sayangnya di negara-negara berkembang justru kegiatan ini yang terlemah.

Dampak pemanenan kayu secara umum dapat terjadi berupa perubahan iklim mikro, terbukanya akses kendaraan dari tempat pemanenan sehingga dapat dipakai untuk pembinaan hutan, sarana jalan penghubung antar desa, pengumpulan hasil hutan non kayu dan bahkan sering dimanfaatkan untuk merambah hutan. Selain itu proses pemanenan juga mempengaruhi habitat flora dan fauna serta kualitas sumber air bahkan menurunkan keanekaragaman hayati, karena kerusakan tegakan yang ditimbulkannya baik kerusakan tegakan tinggal, tanah maupun ekosistem di dalamnya (Sukadaryati dkk, 1999).

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, terjadi banyak tuntutan dari stakeholders baik dari dalam negeri maupun badan atau lembaga Internasional menyangkut pengelolaan hutan produksi lestari. ITTO (1990) dalam Anonim (2003) mengatakan bahwa demi untuk menjaga kelestarian hutan, seluruh kayu tropis yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Menanggapi fenomena yang berkembang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan peraturan tersebut yang dulunya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekarang menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Dengan diterbitkannya peraturan baru tersebut diharapkan pemanenan hasil hutan berwawasan lingkungan (Reduced Impact Logging). Klassen (1997) dalam Tinambunan (1999) mengemukakan bahwa penerapan Reduced Impact Logging mempunyai cakupan kepentingan lingkungan maupun ekonomi. Praktek pemanenan hutan selama ini ternyata sudah banyak merusak tegakan tinggal dan tanah serta ekologi hutan secara umum. Praktek demikian merusak masa depan hutan untuk siklus selanjutnya dan dengan demikian mengganggu kelestarian hutan. Dengan penerapan Reduced Impact Logging maka ancaman tersebut akan dapat diminimalkan. Dari kepentingan ekonomi, penerapan Reduced Impact Logging sudah terlihat mampu mengurangi biaya pemanenan dengan perbaikan produktifitas.

Ada dua persyaratan penting dalam opersi pemanenan hutan tropis agar nilai hasil hutan berupa kayu dan non kayu dapat berkelanjutan, yaitu operasi harus dilakukan sedemikian rupa agar meminimalkan dampaknya terhadap tegakan sisa dan operasi harus mampu meninggalkan hutan dalam kondisi yang bisa mendorong penyehatan secara cepat atau kembali seperti keadaan sebelum dipanen atau ke keaadaan lain secara silvikultur, ekologi dan sosial dapat diterima atau diperlukan. Dikemukakan juga bahwa kunci untuk mempertahankan kelestarian hutan tropis melalui operasi pemanenan hutan adalah penggunaan pengetahuan terbaik saat ini dalam aplikasi 6 elemen penting yaitu : Perencanaan pemanenan; jalan hutan; penebangan; pengeluaran kayu; pengangkutan dan penilaian pasca panen (Tinambunan, 1999).

Dalam kegiatan TPTI, penebangan memiliki andil besar dalam perubahan keadaan ekologis hutan, struktur dan komposisi tegakan serta kelestarian hutan. Tegakan tinggal yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan berkayu dari tingkatan pohon, tiang, sapihan maupun semai dan merupakan obyek yang harus menadapat perhatian khusus untuk menjamin kelestarian hasil hutan untuk rotasi tebangan berikutnya.

Kriteria mengenai kelestarian hasil telah banyak dituangkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wyatt dan Smitt (1987), Johnson dan Bruce (1993) dalam Idris, MM dan Sona S. (1997) yaitu :

  1. Pengelolaan hutan yang lestari adalah kegiatan eksploitasi yang secara regular mendapatkan sejumlah hasil hutan tanpa merusaknya atau secara radikal merubah komposisi dan struktur tegakan tersebut secara keseluruhan.
  2. Pengelolaan hutan yang lestari ialah pembalakan hutan yang terkontrol dikombinasikan dengan praktek silvikultur untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai tegakan secara berturut-turut dan semuanya itu diserahkan kapada regenerasi alami.
Artikel Terkait :
DEFINISI DAN PENGERTIAN :

No comments:

ENDEMIK DAERAH

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer