Di Indonesia, Khususnya sistem Kebun-Talun di Jawa Barat, dapat dipandang sebagai pengembangan dari perladangan berpindah. Bila dalam perladangan berpindah, jangka waktu bera adalah 10 sampai 20 tahun atau lebih; maka dalam Kebun, jangka waktu bera biasanya hanya satu sampai dua tahun, bila lahan terus digunakan sebagai Kebun. Dengan ditinggalkannya anakan pohon-pohonan, yang nantinya akam mendominasi penutup vegetatif, dengan atau tanpa tanaman tambahan, berupa tanaman holtikultura atau tanaman industri, maka kebun dengan melalui fase Kebun Campuran akan menjadi Talun.
Talun dapat dirombak lagi menjadi kebun, akan tetapi dapat dibina juga menjadi Hutan Rakyat, yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan, dan dikelola berazaskan kelestarian melalui tebang pilih. Menurut suatu survey di Jawa Barat, luas talun di provinsi tersebut adalah 25% dari jumlah lahan pedesaan (di luar kawasan hutan). Penumbuhan berupa Talun dapat dikembangkan di pedesaan Indonesia untuk merehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas biomasa.
Pekarangan di Indonesia maupun di negara-negara Asia lainnya, memegang peranan penting dalam kehidupan di desa, baik secara ekonomis, ekologis maupun sosio-kultural. Peningkatan kualitas pekarangan besar sekali manfaatnya, terutama bagi golongan termiskin. Sebab, disamping pendapatan dari upah harian, produktivitas pekarangan mungkin merupakan adalah satu-satunya bagi penghidupannya.
Bentuk-bentuk kebun/talun campuran di Sumatera (Kebun Multi Lapisan Tajuk, Hutan Damar Kucing), Hutan Tanaman Campuran di Kalimantan Timur, Improved Fallow System di Filipina, dan sebagainnya, merupakan perbaikan-perbaikan dari sistem perladangan berpindah yang dikembangkan oleh masyarakat setempat sendiri.
Di Maluku, sistem agroforestri tradisional dikenal dengan istilah "Dusun". Bila diamati, stratifikasi tajuk di dalam Dusun sangat mirip dengan hutan alam. Kondisi dan iklim mikro yang terbentuk sama seperti di hutan alam, sehingga orang-orang menggolongkan Dusun dalam sistem agroforestri tradisional.
Sebelum bangsa Portugis tiba di Maluku pada awal abad ke-16 dan Bangsa Belanda tiba pada awal abad ke-17 (1602) agroforestri yang dikenal di Maluku sebagai dusun telah membudaya pada masyarakat Maluku. Dusun adalah suatu aset “intagible” di Maluku yang termasuk dalam “indigenous knowledge” dan “indigenous technology” yang sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat setempat.
Sistem dusun inilah yang membawa Maluku terkenal dengan nama “the Spice Island”, Bangsa Belanda berusaha menguasai Maluku pada tahun 1602 dan melakukan perbuatan yang tidak terpuji yaitu menebang sebagian besar pohon – pohon pala, cengkeh demi untuk mempertahankan monopoli perdagangan rempah-rempah. Gerakan penebangan pohon perdagangan pala dan cengkeh.
Artikel Terkait :
- PENGERTIAN DAN DEFINISI AGROFORESTRI
- SISTEM AGROFORESTRI
- SILVOFISHERY ATAU WANAMINA
- RUANG LINGKUP AGROFORESTRI
- PEMILIHAN JENIS POHON AGROFORESTRI
- PERGILIRAN TANAMAN DALAM SISTEM AGROFORESTRI
- PERBAIKAN KESUBURAN TANAH OLEH AGROFORESTRI
- BUAH-BUAHAN HASIL DUSUN (AGROFORESTRI TRADISIONAL)
- HUKUM ADAT DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
- HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
- PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN
- KONSERVASI TRADISIONAL
- KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
- TATA NILAI SOSIAL BUDAYA
- MASYARAKAT HUKUM ADAT
- MASYARAKAT TRADISIONAL
- SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT MALUKU DALAM PENGELOLAAN SDA
- KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT HARUKU PROVINSI MALUKU
No comments:
Post a Comment