DEFINISI DAN PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER


Pengertian Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik, yang meliputi potensi intelektual, sikap atau perilaku dan keterampilan.Sebab itu pendidikan merupakan aktifitas terencana yang diselenggarakan oleh masyarakat (termasuk melalui dan di dalam keluarga, atau pendidikan informal dan non-formal), lembaga agama (pendidikan moral-spiritual), bahkan oleh bangsa dan negara (pendidikan formal).

Pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan lembaga agama bukanlah subtitusi terhadap pendidikan formal yang diselenggarakan oleh negara, sebaliknya merupakan pendidikan dasar (elementary education) yang diselenggarakan sesuai dengan fungsi sosial keluarga, komunitas dan lembaga agama itu sendiri. Pelaksanaannya difokuskan pada fungsi dan tanggungjawab sosial (social role and responsibility) yang penting dimainkan oleh anggota keluarga, tokoh dan pemimpin masyarakat serta pemimpin umat beragama.di dalam keluarga dan masyarakat serta lembaga agama, karakter bangsa mengalami pembentukan awal.

Sedangkan pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa dan negara merupakan usaha terencana yang juga dilaksanakan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial negara terhadap warganya. Sebagai sebuah strategi bangsa, pendidikan di sini dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi muda bangsa melalui pewarisan nilai-nilai kebangsaan yang luhur.Hal itu dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional, seperti termaktub dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari Definisi yang ada menjadi jelas bahwa pendidikan karakter bangsa merupakan sebuah strategi kebudayaan Indonesia sebagai cerminan tingginya peradaban bangsa. Bahwa bangsa yang beradab adalah bangsa yang sadar akan siapa dirinya (jati diri) dan apa yang menjadi tujuan bersama sebagai bangsa (cita-cita nasional). Tingkat peradaban bangsa itu tampak pada watak dan martabat warga bangsa itu sendiri.Di dalam tujuan pendidikan nasional, watak bangsa Indonesia meliputi sikap beriman (dimensi religius), perilaku yang mulia/luhur (aspek etika kebangsaan), kemandirian berperilaku (aspek sosial), dan sikap demokratis (aspek politik bangsa).

Selanjutnya karakter dalam banyak defenisi dikaitkan dengan perilaku, atau suatu tindakan yang dibangun berdasarkan pada nilai.Nilai tidak bisa dilihat, tetapi nilai itu berwujud di dalam suatu perilaku.Sebab itu karakter terbangun dari kebijaksanaan (virtues) yang melekat pada jati diri seseorang. Sebagai bentuk dari pengungkapan nilai, maka karakter itu terbangun dari seperangkat nilai luhur yang dijadikan sebagai semacam ‘keyakinan utama’ (level of belief) dari suatu masyarakat.Nilai-nilai itu tergali dari dalam kebudayaan yang meliputi nilai sosial, nilai budaya, nilai ideologis, nilai agama, nilai estetis (seni).Nilai-nilai itu mengandung keutamaan tertentu (the good) yang kemudian berkembang sebagai dasar moralitas (common ground morality).Maka jadilah perilaku atau karakter itu sebuah sistem makna yang tidak lagi berfungsi privat melainkan publik.

Bangsa sebagai kesatuan suku dan sub suku yang terintegrasi merupakan tipe ideal suatu masyarakat yang hidup di atas dasar keyakinan bersama. Sumber keyakinan bangsa adalah ideologi sebagai yang adalah sari dari berbagai carapandang suku dan sub suku, menjadi satu ideologi dan lalu menjadi ciri dan karakter bangsa itu. Dalam hal ini ialah bangsa Indonesia yang majemuk di kepulauan nusantara yang terdiri dari ribuan suku, sub suku, ras, bahasa, budaya dan agama serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Secara operasional karakter bangsa Indonesia dicirikan oleh Pancasila yang menuntut agar dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Leimena menyebut hal itu secara teknis dalam istilah keinsyafan kebangsaan dan keinsyafan kenegaraan. Dalam keinsyafan kebangsaan dan keinsyafan kenegaraan itu, Leimena memaksudkan suatu sikap bertanggungjawab sebagai warga bangsa Indonesia. Menurut Leimena (1955), kita hanya dapat mengatakan bahwa kita adalah warga negara yang mau turut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negara, jika kita telah mempunyai keinsyafan kenegaraan (staatsbewustzijn), dan keinsyafan kenegaraan tidak dapat tumbuh, jika tidak ada suatu keinsyafan kebangsaan (volksbewustzijn). Bahwa secara konkrit kita tidak dapat mengatakan kita adalah warga negara Indonesia, jika pada kita tidak ada suatu keinsyafan bahwa kita adalah anggota dari suatu organisme yang bernama negara Indonesia dan jika pada kita tidak ada suatu keinsyafan bahwa kita adalah anggota dari suatu persekutuan yang disebut bangsa Indonesia.

Dari pengertian operasional mengenai pendidikan, karakter dan bangsa tadi, maka sudah dapat dimengerti bahwa pendidikan karakter bangsa adalah suatu usaha secara sadar dan terencana yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau pemerintah untuk membentuk watak dan perilaku warga bangsa dan warga negara agar mereka memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap bangsa dan negara dan menjadi warga yang berkarakter kebangsaan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dalam wadah NKRI yang berbhinneka tunggal ika.

Orang cerdas kerap hanya menjadi pelayan bagi mereka yang memiliki gagasan, dan orang-orang yang memiliki ide besar melayani mereka yang memiliki karakter yang sangat kuat, sementara orang yang memiliki karakter kuat melayani mereka yang berhimpun pada diri mereka dengan karakter yang sangat kuat, visi yang besar, gagasan-gagasan yang cemerlang, dan pijakan idiologi yang kukuh. (Muhammad F. Adhim, 2006)

Pernyataan di atas menggambarkan konsepsi yang mendalam tentang karakter, dimana ciri pribadi yang berkarakter itu tidak hanya cerdas lahir bathin, tetapi juga memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang dipandangnya benar dan mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap apa yang dilakukannya. Begitu besarnya pengaruh karakter dalam kehidupan.

Secara etimologis karakter berasal dari bahasa Yunani, Charassein yang artinya ‘mengukir’.Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan.Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. (Singh dan Agwan, 2000)

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan.Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului dengan kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang (Abdullah Munir, 2010).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter didefinisikan sebagai tabiat; sifat-sifat kejiawaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain;  Kata berkarakter diterjemahkan sebagai mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian; berwatak.  Yahya Khan (2010), mengemukakan bahwa karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil sebagai proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan.

Secara sederhana pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerjasama sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara, dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.  Dalam bukunya “The Psychology of Moral Development” (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang dihasilkan dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku.

Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang.Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud (2000) pernah mengungkapkan potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Hal ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian.

Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt).Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan.

Menurut Simon Philips  dalam Quari (2010:10), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Dari pendapat di atas dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.Dengan demikian, pendidikan karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk.

Dari berbagai pendangan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pembentukan karakter manusia dapat dilihat dari banyak aspek.Menurut ilmuan Barat lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik.Sedangkan dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari stimulus dari luar.

Pendidikan Karakter adalah pendidikan yang berkaitan dengan suatu sistem yang mengarah pada terjadinya perubahan yang baik dan karakter yang berkaitan dengan sikap seseorang.Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian  karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

Karakter juga berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.Karakter merupakan kualitas diri yang membuat seseorang berbeda dengan lainnya.
Dalam kehidupan kita, karakter bersumber kepada nilai-nilai yang berasal dari budaya bangsa, filosofi negara Pancasila dan agama.Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara Indonesia yang mencerminkan sikap dan tindakan-tindakan yang melahirkan suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia.

Karakter juga sering diasosiasikan dengan istilah yang disebut  dengan temperamen yang lebih memberi penekanan pada definisi  psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.
Sedangkan karakter dilihat dari sudut pandang behaviorial lebih menekankan  pada unsur somatopsikis yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa  proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang khas yang ada pada orang  yang bersangkutan yang juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan  (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor  bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu  untuk mempengaruhinya, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor  yang berada pada jangkauan masyarakat dan individu. Jadi usaha  pengembangan atau pendidikan  karakter seseorang dapat dilakukan oleh  masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan melalui rekayasa  faktor lingkungan.  Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan ini.

Dengan demikian pendidikan karakter dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal maupun non formal, namun dalam pelaksanaannya pendidikan karakter tidak dijadikan sebagai suatu kesatuan yang berdiri sendiri, namun terintegrasi melalui pola pikir, perkataan, dan perbuatan.Dalam konteks pendidikan formal, pendidikan karakter bukan sebuah mata pelajaran yang dapat diajarkan, namun pendidikan karakter terintegrasi ke dalam mata pelajaran tersebut.  Pendidikan Karakter memerlukan proses yang cukup panjang dan bersifat saling menguatkan (reinforce) antara kegiatan belajar dengan kegiatan belajar lainnya, antara proses belajar di kelas dengan kegiatan kurikuler di sekolah dan di luar sekolah.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar diantaranya cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Dengan demikian diharapkan melalui pendidikan karakter dapat dibangun  wawasan kebangsaan serta mendorong inovasi dan kreasi siswa.  Di samping itu nilai-nilai yang perlu dibangun dalam diri generasi penerus bangsa secara nasional yakni kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi, dan disiplin.

Dalam kehidupan masyarakat Maluku, nilai-nilai karakter di atas ditemukan dalam kehidupan budaya masyarakat Maluku yang dikenal dengan budaya Siwalima. Kata Siwalima merupakan perpaduan antara kata Patasiwa dan patalima, dimana siwa artinya Sembilan dan lima berarti lima. Paduan kata yang melahirkan suatu makna penting dalam kehidupan masyarakat Maluku yang memberikan nilai-nilai budaya yang positif dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku.Budaya ini telah mengakar dalam kehidupan bersama masyarakat Maluku dimana nilai-nilai yang terkandung dalamnya meliputi toleransi yang ditemui dalam budaya Pela-Gandong yakni kehidupan bersama dalam komunitas agama yang berbeda dari dua atau tiga desa yang berbeda dalam suatu hubungan kekerabatan. Makan Patita atau makan bersama dalam kelompok masyarakat dalam komunitas yang banyak tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi dan dilakukan dalam suasana kekerabatan, serta budaya masohi yang menunjukkan adanya kebersamaan, ketangguhan, saling membantu satu dengan yang lain.

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi) (Adnan, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan ,dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekeri, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991 dalam Ratna Megawangi, 2007: 83). Menurut Aristoteles karakter erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku (Megawangi, Ibid)
Kahn (2010), menyatakan terdapat empat jenis pendidikan karakter yang selama ini dilaksanakan dalam proses pendidikan:
  • Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral);
  • Pendidikan karakter berbasis nilai budaya , antara lain yang berupa budi pekerti, Pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan);
  • Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan);
  • Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).
Relevan dengan konsep diatas pendidikan merupakan suatu proses humanisasi, artinya dengan pendidikan manusia akan lebih bermartabat, berkarakter, terampil, yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap tataran sistem sosial sehingga akan lebih baik, aman dan nyaman. Pendidikan juga akan menjadikan manusia cerdas, pintar, kreatif, inovatif, mandiri dan bertanggung jawab.

Pendidikan nilai diharapkan merupakan suatu hal yang dapat mengimbangi tradisi pembelajaran yang selama ini lebih menitikberatkan pada penguasaan kompetensi intelektual/kognitif semata.Pendidikan nilai adalah upaya untuk membina, membiasakan, mengembangkan dan membentuk sikap serta memperteguh watak untuk membentuk manusia yang berkarakter.

SUMBER :
Oszaer.R, Notanubun.Z, Laurens.T, Tjiptabudy.J, Madubun.J, 2011. MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BERWAWASAN KEBANGSAAN DAN BERBASIS BUDAYA LOKAL. BADAN PENERBIT FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PATTIMURA (BPFP-UNPATTI), AMBON.

Artikel Terkait :

ENDEMIK DAERAH

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer