Konservasi Tradisional

Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumber daya alam khususnya hutan di sekitarnya bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan tradisional. Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup pengetahuan yang berkenan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam secara lestari.

Pengetahuan dimaksud merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri. Dimana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungan dengan alam semesta termasuk dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab.

Praktek konservasi tradisional tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan masyarakat lokal karena berdasarkan pengetahuan itulah masyarakat mempraktekkan aspek-aspek konservasi yang khas di daerahnya. Dengan demikian konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam guna kelestarian pemanfaatannya.

Praktek-praktek tersebut umumnya merupakan warisan dari nenek moyang mereka dan bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam, praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian tersebut kemudian dikenal sebagai kearifan tradisional.


video


Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari antara lain :

  • Kepercayaan dan/atau pantangan : misalnya (a) manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor non-hayati lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan, (b) pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlalu rendah.
  • Etika dan aturan : contoh (a) menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali, (b) tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, (c) mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi hama ladang.
  • Teknik dan teknologi : contoh (a) membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun atau tanaman pertanian lainnya, (b) menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah, diameter pohon dan warna tumbuhannya. (c) membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna, dan lain-lain.
  • Praktek dan tradisi pengelolaan hutan atau lahan : contoh (a) menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama, (b) melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman, (c) mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga.

Mempelajari kearifan lokal, tidak berarti mengajak kita kembali pada periode zaman batu. Akan tetapi hal itu justru penting tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam di sekitarnya juga memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi mendatang.

Konservasi tradisional merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam masyarakat pedesaan secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai kualitas lingkungan dan sumber daya alam.

Pada masyarakat tradisional (pedesaan) biasanya terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat mencegah dan melindungi penggunaan sumber daya alam yang tak beraturan.

Di Maluku aturan-aturan itu dikenal dengan “ Sasi ” menurut Kissya (1993), “ Sasi ” merupakan larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati, baik hewani maupun nabati.

Adanya larangan-larangan pengambilan hasil sebelum waktunya, maka akan terjadi peningkatan produktifitas sumber daya alam dan kelestarian hutan tetap terjamin. Khususnya untuk jenis vegetasi dapat memperoleh kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sehingga mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal guna memberikan hasil yang maksimum.

Ada dua bentuk “ Sasi ” secara umum yaitu :

  • “ Sasi negeri ” adalah suatu bentuk larangan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum adat yang berlaku terhadap seluruh potensi sumber daya alam yang berada di wilayah petuanan negeri.
  • “ Sasi gereja ” adalah suatu bentuk larangan untuk mengambil dan memanfaatkan hasil hutan atau kebun dalam jangka waktu tertentu yang pelaksanaannya dilakukan apabila ada permintaan dari jemaat atau masyarakat untuk dusun-dusunnya diserahkan kepada gereja untuk di “ Sasi ”.

Sasi diberlakukan dengan tujuan agar semua tanaman dapat dijaga dengan baik khususnya buah-buahan yang ditanam didalam dusung diambil pada waktunya yaitu ketika buah-buahan itu menjadi tua atau masak, dapat mengurangi perselisihan di dalam dusung yaitu antara anak-anak dati dan kepala dati, antar anak-anak pusaka dengan kepala pusaka. Selain itu tanah-tanah negeri dan labuhan (laut) dapat terpelihara dengan baik guna dipakai oleh masyarakat negeri sendiri serta pencurian di kurangi.


Artikel Terkait :

No comments:

ENDEMIK DAERAH

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer