Referensi

Konservasi Sumber Daya Genetik


Hutan alam tropika di Indonesia dewasa ini menghadapi masalah kerusakan yang menjadi semakin parah karena adanya penebangan kayu secara besar-besaran dan kebakaran hutan yang terjadi setiap musim kemarau tiba. Kerusakan yang terjadi secara cepat menyebabkan banyak ahli kehutanan berpendapat bahwa hutan alam tropika di Indonesia akan segera punah, terutama di Sumatra dan Kalimantan.

Rusak/punahnya hutan alam tropika di Indonesia, selain tampak pada kerusakan fisik secara nyata juga tercakup di dalamnya sumber genetik tumbuhan yang merupakan salah satu aspek yang sangat berpengaruh pada regenerasi hutan di masa yang akan datang. Padahal kelestarian hutan alam tergantung dari kemampuan hutan tersebut untuk meremajakan diri.
 
Kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk melakukan konservasi dan pelestarian sumber daya alam hayati pada prioritas utama. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mempertahankan biodiversitas yang merupakan landasan terciptanya stabilitas ekosistem. Biodiversitas memiliki arti tidak hanya berkaitan dengan jumlah jenis tetapi juga meliputi variasi dan keunikan gen tumbuhan beserta ekosistemnya.

Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk melakukan konservasi genetik, (1) Konservasi ex-situ, yang dikerjakan/dibangun di luar wilayah asal tanaman, meliputi kebun benih, kebun klon, bank klon, dan pertanaman uji provenans. Konservasi dengan cara ini sangat menguntungkan guna kepentingan pemuliaan dan program penghutanan kembali yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas genetik.; (2) Konservasi in-situ, yang dikerjakan/dibangun di wilayah tanaman berasal. Secara teoritis, konservasi in-situ lebih menguntungkankan sebab selain jenis tumbuhan yang akan dikonservasi, juga termasuk di dalamnya habitat atau ekosistem dimana tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang juga ikut dipertahankan.

Kondisi asli ini akan menyebabkan tetap terkontrolnya interaksi genetik dengan lingkungannya, yang meliputi adaptasi dan evolusi populasi yang dikonservasi.
Keanekaragaman genetik pada sebuah hutan sesungguhnya merupakan sebuah hal yang kompleks, heterogen dan dinamis; keanekaragaman tersebut terwujud oleh adanya interaksi antara lingkungan secara fisik, sistem biologis hutan dan populasinya, serta pengaruh manusia dan lingkungan sosial sekitar hutan. Untuk melakukan konservasi atas hutan tersebut diperlukan kebijakan yang tepat sehingga dapat menguntungkan semua pihak.

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan konservasi genetik yang diharapkan:
  1. Pertimbangan atas berbagai macam kepentingan konservasi dikaitkan dengan hak masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konservasi. Konflik lahan yang seringkali terjadi pada kawasan hutan, dimana masyarakat sekitar hutan berusaha untuk menggarap tanah hutan dan diakui sebagai sebagai miliknya membuat pemerintah tidak dapat mengabaikan keberadaan mereka. Tidak adanya pendekatan yang tepat terhadap masyarakat akan menyebabkan setiap program yang direncanakan terhadap wilayah hutan akan mendapat hambatan yang serius. Hal ini bukan saja karena ketidaktahuan masyarakat, tetapi juga karena masyarakat mencoba untuk mendapatkan atau memperluas tanah garapannya. Kondisi semacam ini dapat diatasi apabila pemerintah berusaha untuk mengakomodasi kepentingan mereka sejalan dengan program yang direncanakan. Keikutsertaan masyarakat dalam program yang direncanakan diharapkan akan membuat masyarakat berpikir/mengerti akan kepentingannya sehingga turut mewujudkan atau paling tidak menjaganya;
  2. Kebijakan integrasi, koordinasi dan inovasi. Guna memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka harus ada wewenang dan tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak yang bekerja dalam lingkup kehutanan. Pemerintah yang berusaha melakukan konservasi hutan dan instansi swasta yang pada umumnya mementingkan aspek komersial, harus mengadakan integrasi dan koordinasi sehingga masing-masng pihak dapat mengambil keuntungan tanpa merugikan pihak yang lain dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan.
  3. Kapasitas dan kerjasama antar institusi pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah, seringkali menimbulkan dampak yang tidak diharapkan dari adanya kebijakaan antar departemen yang saling berbenturan. Sebagai contoh, tidak jarang kebijakan pada bidang pertanian membuat program penghijauan kawasan hutan menjadi tidak mungkin dilaksanakan karena perubahan tata guna lahan secara sepihak. Hal seperti ini seharusnya bias dihindari apabila masing-masing departemen saling menghargai dan bias menyamakan persepsi atas status suatu lahan. Bahkan akan sangat menguntungkan apabila antar departemen melakukan kerjasama untuk mengelola lahan sehingga pemanfaatannya bias maksimal.
  4. Penunjukan secara tepat berkait dengan tipe konservasi yang sesuai. Untuk dapat memutuskan secara tepat tipe konservasi yang diperlukan, harus dipahami lebih dahulu bahwa ekosistem hutan sangat kompleks, baik menyangkut jenis-jenis tumbuhan yang ada di dalamnya, nilai ekonomi kayu atau tumbuhannya maupun status populasinya. Konservasi ek situ akan efektif dilakukan apabila memang saangat tidk dimungkinkan untuk melakukan konservasi in situ pada jenis yang diinginkan, atau terdapat ancaman kerawanan yang tinggi sehingga keamanan jenis tidak dapat dijamin pada lingkungan aslinya. Sedangkan konservasi insitu akan efektif dilakukan apabila fungsi dan proses ekosistem serta proses interaksi antar spesies dalam kawasan konservasi berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa gangguan, sehingga memunculkan karakteristik yang tepat untuk konservasi in situ.
  5. Pengembangan kebijakan konservasi yang terintegrasi. Mengingat pentingnya konservasi genetik maka pihak-pihak yang bergerak di bidang kehutanan, pemerintah maupun swasta, hendaknya menangani permasalahan ini secara khusus. Apabila perlu sangat dimungkinkan pelaksanaan konservasi genetik ini dengan melibatkan berbagai untur secara terpadu agar diperoleh hasil yang maksimal.

Artikel Terkait :

No comments:

Post a Comment

Mohon Komentar Untuk Perbaikan Artikel. Terima Kasih